Merawat Alam / Memerdekakan Lingkungan

Eddy Gorda
Dr. AAN Eddy Supriyadinata Gorda - Foto : Dokumen

Sejak Indonesia merdeka 80 tahun lalu, banyak hal yang telah berubah. Kemajuan ekonomi, modernisasi infrastruktur, dan peningkatan akses pendidikan adalah beberapa dari sekian banyak pencapaian yang patut dibanggakan. Namun, di tengah perayaan kemerdekaan yang seharusnya menjadi refleksi penuh makna, ada satu pertanyaan mendalam yang tak terjawab: sejauh mana pendidikan kita benar-benar memerdekakan kita dari masalah lingkungan yang terus menghantui?

Pendidikan yang Tertinggal dalam Merawat Alam
Jika kita merenung, seakan tak ada yang lebih relevan dengan perayaan kemerdekaan ini daripada memikirkan bagaimana pendidikan bisa memerdekakan kita dari masalah lingkungan yang semakin hari semakin membebani. Kemerdekaan seharusnya berarti lebih dari sekadar terbebas dari penjajahan fisik dan politik. Seharusnya, kemerdekaan itu juga hadir dalam bentuk kebebasan dari ancaman kerusakan lingkungan yang kini merambah hampir setiap penjuru tanah air. Masalah lingkungan bukan lagi isu sampingan, melainkan ancaman yang mengintai keberlanjutan hidup bangsa. Namun pendidikan kita, yang seharusnya menjadi sarana utama untuk menyelesaikan masalah ini, malah mengabaikan etika lingkungan yang telah lama tertanam dalam kebudayaan kita.

Pendidikan kita terlalu terfokus pada pencapaian hasil ujian, sementara krisis lingkungan yang semakin nyata di hadapan kita tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Di sekolah-sekolah, siswa lebih banyak mempelajari rumus-rumus teori fisika, matematika, dan geografi yang jarang berhubungan langsung dengan kehidupan nyata. Ada sedikit sekali kesempatan bagi mereka untuk memahami hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Masalah ini bukan hanya masalah kurikulum yang tak mencakup pelajaran tentang lingkungan secara mendalam, tetapi juga soal paradigma pendidikan yang salah kaprah. Seakan-akan, pemahaman tentang alam dan lingkungan bukanlah bagian yang penting dari pembelajaran.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pendidikan yang hanya bersifat teoretis tidak selalu berhasil mengubah perilaku individu, bahkan jika pengetahuan tentang lingkungan sudah ditanamkan. Sebuah gap yang mencolok muncul antara pengetahuan lingkungan yang diperoleh dan tindakan nyata yang diambil. Siswa mungkin tahu tentang isu-isu lingkungan, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini menggarisbawahi adanya masalah mendalam dalam pendidikan kita yang tidak hanya terfokus pada teori, tetapi juga gagal memberikan ruang bagi pembentukan kebiasaan dan perilaku pro-lingkungan.

Di sisi lain, banyak budaya lokal yang seharusnya menjadi bahan pembelajaran yang dapat mengajarkan kita bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam. Bali, sebagai contoh, memiliki banyak nilai luhur terkait keharmonisan antara manusia dan alam dalam Tri Hita Karana. Namun nilai-nilai ini sering kali dipandang remeh dalam pendidikan yang terlalu berorientasi pada aspek teoretis. Padahal, pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep Tri Hita Karana dapat memberikan pencerahan tentang bagaimana kita bisa memperbaiki hubungan kita dengan alam. Ini adalah nilai yang seharusnya diajarkan, bukan hanya dalam mata pelajaran kebudayaan atau agama, tetapi juga dalam konteks pemecahan masalah lingkungan.

Antara Pengetahuan dan Perilaku
Hambatan utama dalam mendorong perilaku pro-lingkungan adalah kurangnya dukungan yang konkret, baik dari rumah maupun sekolah. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang lingkungan, hal ini tidak otomatis mengubah perilaku. Banyak faktor yang memengaruhi, seperti kurangnya motivasi, dukungan sosial yang lemah, emosi negatif yang timbul terkait dengan masalah lingkungan, serta norma sosial yang tidak mendukung tindakan pro-lingkungan. Selain itu, banyak siswa merasa bahwa tindakan mereka sebagai individu tidak akan memiliki dampak besar terhadap lingkungan, yang semakin memperburuk apatisme terhadap tindakan nyata.

Pengaruh media dan kebiasaan lama juga menjadi penghalang besar. Media yang lebih sering menampilkan berita sensasional atau mengabaikan masalah lingkungan, ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang sudah terbentuk, membuat individu cenderung merasa tidak memiliki kewajiban untuk berubah. Sebagai contoh, kesadaran terhadap isu-isu lingkungan mungkin tinggi, tetapi tanpa adanya dukungan otoritatif dari pihak yang berwenang atau pengalaman langsung yang melibatkan individu, pengetahuan tersebut hanya akan tetap sebagai informasi teoretis yang tidak diterapkan.

Menjawab Tantangan Lingkungan
Untuk mengatasi masalah lingkungan yang semakin mendalam, pendidikan harus lebih dari sekadar penyampaian informasi teoretis. Pendidikan yang efektif dalam membentuk perilaku pro-lingkungan harus bersifat partisipatif, mengintegrasikan nilai prososial, dan memberikan pengalaman langsung. Program-program seperti proyek lingkungan yang melibatkan kerja sama, pemberian insentif perilaku pro-lingkungan, serta pengajaran yang menggabungkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan praktis terbukti lebih efektif dalam menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Hal ini bukan hanya soal mengajarkan siswa tentang teori, tetapi juga tentang mengubah cara pandang mereka terhadap alam dan lingkungan melalui pengalaman nyata yang dapat menginspirasi perubahan sikap.

Namun, untuk mencapai tujuan ini, kita juga perlu melihat kembali ke dalam kebudayaan lokal kita. Jika kita serius ingin membebaskan pendidikan dari kebodohan lingkungan yang telah berlarut-larut, maka mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kurikulum pendidikan menjadi hal yang tak kalah penting. Konsep seperti Tri Hita Karana di Bali, yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan, harus dijadikan pelajaran hidup. Masyarakat Bali telah lama mengenal pentingnya keselarasan antara manusia dan lingkungan, dan inilah nilai yang harus kita pelajari lebih dalam dan aplikasikan dalam pendidikan kita. Dengan mengintegrasikan pendidikan lingkungan yang berbasis kearifan lokal, kita tidak hanya mengajarkan teori konservasi atau ekologi, tetapi juga menyentuh dimensi spiritualitas yang mengajarkan penghormatan terhadap alam. Pendidikan yang demikian akan membentuk generasi yang tidak hanya cerdas dalam teori, tetapi juga peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sejak dini.

Pada akhirnya, kita kembali pada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia yang ke-80 seharusnya menjadi momen refleksi mendalam tentang arah pendidikan kita. Di tengah krisis lingkungan yang semakin nyata, pendidikan kita harus bertransformasi menjadi lebih dari sekadar ruang untuk menghafal teori. Ia harus menjadi alat pembebasan, membentuk karakter, dan membimbing generasi muda untuk bertindak nyata dalam menjaga alam. Di sini, dua konsep penting, educare dan educere, harus diintegrasikan dengan sempurna. Educare mengajarkan kita untuk membentuk karakter, menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan, serta membekali siswa dengan nilai-nilai yang mengarahkan mereka untuk peduli pada bumi.

Sementara itu, educere mendorong kita untuk mengeluarkan potensi
terbaik dalam diri siswa, mengajak mereka untuk berkembang melalui pengalaman langsung, dan menghubungkan pengetahuan dengan aksi nyata. Menggabungkan kedua konsep ini, bersama dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti Tri Hita Karana dari Bali, akan menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berempati dan peduli terhadap keberlanjutan hidup di bumi. Saat ini, kita tidak punya pilihan selain merancang pendidikan yang tidak hanya mengisi kepala dengan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan mendorong tindakan nyata, agar kita dapat menciptakan masa depan yang benar-benar berkelanjutan.

Penulis : Anak Agung Ngurah Eddy Supriyadinata Gorda

TERP HP-01