Koster – Dedi: Beda Gaya, Sama Visi

koster - dedi
Wayan Koster - Dedi Mulyadi

Dua kepala daerah dengan gaya berbeda, tapi satu visi, menjaga martabat daerahnya masing-masing. Wayan Koster di Bali dan Dedi Mulyadi di Jawa Barat sama-sama menunjukkan arah kepemimpinan progresif, meskipun pendekatan mereka kontras secara karakter dan metode.

Wayan Koster tampil tenang, sistematis, dan teknokratik. Ia membangun Bali melalui jalur regulasi yang berpijak pada visi jangka panjang. Sementara Dedi Mulyadi tampil lugas, membumi, dan sangat dekat dengan masyarakat akar rumput. Ia lebih memilih menyelesaikan persoalan langsung di lapangan daripada berlama-lama di balik meja birokrasi.

Koster mengawali pemerintahannya dengan melahirkan kebijakan-kebijakan visioner. Salah satunya adalah Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, yang memperkuat peran dan kewenangan desa adat dalam tata kelola pembangunan berbasis budaya. Regulasi ini menjadikan desa adat bukan hanya simbol, tetapi aktor utama dalam menjaga identitas Bali.

Ia juga dikenal sebagai gubernur yang berani mengambil langkah konkret dalam isu lingkungan. Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai menjadi pionir dalam gerakan pengurangan sampah plastik di Indonesia, bahkan menjadi rujukan nasional.

Lebih jauh, arah pembangunan Bali di bawah Koster ditegaskan melalui Undang-Undang Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2023, yang dikenal sebagai UU Bali. Undang-undang ini menegaskan prinsip “Satu Pulau, Satu Pola, Satu Tata Kelola” untuk pembangunan Bali secara menyeluruh, berkelanjutan, dan berbasis nilai-nilai kearifan lokal. Salah satu poin penting dalam UU ini adalah pemanfaatan pendapatan dari sektor pariwisata untuk mendanai infrastruktur, pendidikan, dan pelestarian budaya secara adil dan proporsional di seluruh kabupaten/kota.

Wayan Koster memilih jalan yang tidak populer. Ia tidak bermain di ruang pencitraan. Kepemimpinannya bertumpu pada pondasi hukum yang kuat agar Bali tidak kehilangan jati dirinya di tengah derasnya arus globalisasi.

Sementara itu, Dedi Mulyadi dikenal luas karena pendekatan empatik dan langsung. Saat memimpin Purwakarta dan kemudian sebagai tokoh Jawa Barat, Dedi kerap turun ke kampung-kampung, berbincang dengan rakyat kecil, bahkan tidur di rumah warga miskin. Ia menyerap aspirasi dari sumbernya langsung tanpa protokoler yang rumit.

Ia menghidupkan simbol-simbol budaya Sunda dalam pembangunan, mulai dari desain gapura berbentuk kujang, arsitektur kantor-kantor pemerintah yang bernuansa tradisional, hingga pelestarian seni dan bahasa daerah. Dedi juga konsisten dalam menjaga kelestarian lingkungan. Ia menolak eksploitasi hutan, melawan penebangan liar, dan aktif menyelamatkan satwa langka.

Dalam ranah sosial, kiprah Dedi tak kalah menonjol. Ia kerap membantu lansia terlantar, membangun rumah untuk warga miskin, hingga memastikan anak-anak tidak putus sekolah. Semua dilakukan tanpa seremonial berlebihan. Baginya, kerja nyata lebih penting dari ekspos media.

Koster dan Dedi mengajarkan bahwa gaya kepemimpinan bisa beragam, tapi keberpihakan kepada rakyat dan keberanian menjaga identitas daerah adalah fondasi yang tak bisa ditawar. Koster bekerja dalam sunyi dengan regulasi yang terukur, sementara Dedi menyuarakan keadilan dari jalanan pelosok. Keduanya berdiri di atas nilai yang sama: bahwa daerah bukan sekadar wilayah administratif, tapi rumah besar yang harus dijaga kehormatannya.

Di tengah maraknya pemimpin yang terjebak dalam popularitas semu dan pencitraan digital, kehadiran sosok seperti Koster dan Dedi menjadi pengingat bahwa kerja konkret, keberanian mengambil keputusan, dan keberpihakan terhadap budaya serta lingkungan adalah warisan terbaik untuk generasi mendatang.

Penulis : Wayan Irawan
Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bali

TERP HP-01