Korupsi di Indonesia bagaikan penyakit kronis yang terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibarat racun, ia menyebar dari satu generasi ke generasi berikutnya, melemahkan moralitas dan integritas masyarakat. Seharusnya, pendidikan menjadi benteng utama dalam melawan penyebaran racun ini. Namun, kenyataan justru menunjukkan sebaliknya—pendidikan sering kali gagal menanamkan nilai-nilai kejujuran, sehingga korupsi tumbuh subur tanpa hambatan. Mengapa sistem pendidikan kita lemah dalam membentuk individu berintegritas?
Tujuan Pendidikan: Masihkah Mendidik Manusia Berintegritas?
Tujuan utama pendidikan bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga membentuk karakter. Namun, di Indonesia, pendidikan lebih banyak berorientasi pada angka: nilai tinggi, ijazah mentereng, dan gelar akademik yang prestisius. Sayangnya, integritas justru terpinggirkan.
Lihatlah bagaimana budaya menyontek dan plagiarisme masih subur di berbagai institusi pendidikan. Sebagian besar siswa dan mahasiswa menganggap menyontek bukanlah pelanggaran serius, tetapi sebagai strategi bertahan dalam sistem pendidikan yang penuh tekanan. Ketika mereka akhirnya masuk ke dunia kerja dan politik, mentalitas ini tetap terbawa: bukan soal benar atau salah, tapi soal bagaimana bisa lolos.
Lebih ironis lagi, korupsi justru terjadi di dalam institusi pendidikan itu sendiri. Mulai dari pungutan liar, proyek fiktif, hingga jual beli ijazah. Jika akar pendidikan sudah tercemar, bagaimana mungkin kita berharap cabangnya tumbuh lurus?
Selain itu, tujuan pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk pribadi yang kuat dalam moralitas dan nilai-nilai etika. Sayangnya, pendidikan kita sering kali hanya menekankan aspek kognitif tanpa menginternalisasi nilai-nilai integritas dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulum dan metode pembelajaran sering kali hanya berorientasi pada hafalan dan keberhasilan akademik, tanpa membangun kesadaran kritis terhadap dampak jangka panjang dari tindakan yang tidak etis. Jika pendidikan benar-benar ingin menjadi benteng melawan korupsi, maka nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian sosial harus menjadi inti dari setiap jenjang pendidikan.
Role Model: Ketika Teladan Justru Menjadi Pelaku
Anak-anak belajar dari lingkungan mereka. Jika mereka melihat guru, dosen, atau pejabat pendidikan terlibat dalam praktik korupsi, apa yang bisa diharapkan dari generasi berikutnya? Sayangnya, figur-figur yang seharusnya menjadi panutan justru kerap menjadi contoh buruk.
Dalam banyak kasus, para koruptor yang tertangkap adalah mereka yang berpendidikan tinggi—bahkan lulusan universitas ternama. Mereka adalah produk dari sistem pendidikan yang gagal membentuk kejujuran sebagai nilai utama. Alih-alih menjadi teladan yang baik, mereka justru menjadi bukti nyata bahwa pendidikan belum tentu menghasilkan integritas.
Bagaimana mungkin kita mengajarkan kejujuran jika para pemimpin dan pejabat pendidikan sendiri terlibat dalam suap-menyuap? Ketika pendidikan kehilangan tokoh teladan, maka yang tertinggal hanyalah generasi yang bingung antara idealisme dan realitas.
Seharusnya, role model seperti orang tua, guru, dan pemerintah mampu menarik tujuan jangka panjang ke waktu sekarang. Artinya, mereka harus menciptakan hal-hal jangka pendek agar orang lain paham bahwa tujuan yang baik di masa depan bukanlah sesuatu yang sulit. Perilaku baik seperti komitmen, kejujuran, kebaikan, dan disiplin harus bisa dibangun dalam skala kecil secara konsisten sebelum akhirnya membudaya. Jika perilaku-perilaku ini tidak diperkuat sejak awal, maka integritas hanya akan menjadi konsep kosong tanpa implementasi nyata.
Selain itu, perjuangan dan proses dalam mencapai sesuatu harus diberikan penghargaan (reward), agar generasi muda lebih menghargai perjalanan dibandingkan hanya melihat hasil akhir. Jika yang ditonjolkan hanya hasil, maka jalan pintas seperti kecurangan dan korupsi akan semakin dianggap lumrah. Pendidikan harus mengajarkan bahwa keberhasilan bukan hanya soal tujuan, tetapi juga bagaimana cara mencapainya. Dengan cara ini, mentalitas instan dapat ditekan, dan generasi mendatang lebih memahami nilai kerja keras dan dedikasi.
Gratifikasi Instan: Budaya Cepat Kaya yang Mematikan Moralitas
Pendidikan di Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam menghadapi budaya gratifikasi instan. Masyarakat semakin terbiasa dengan mentalitas serba cepat: lulus cepat, kaya cepat, sukses tanpa usaha. Di media sosial, banyak anak muda lebih mengidolakan gaya hidup mewah tanpa memahami proses di baliknya.
Akibatnya, mereka lebih cenderung mencari jalan pintas ketimbang bekerja keras dan berintegritas. Fenomena ini juga menciptakan generasi yang pragmatis: jika ada cara mudah dan menguntungkan, mengapa harus repot-repot berusaha? Inilah bibit awal dari praktik korupsi yang semakin membudaya.
Ketika seorang siswa terbiasa ‘membeli’ nilai atau mencari koneksi untuk mendapatkan pekerjaan, besar kemungkinan mereka akan menganggap suap dan nepotisme sebagai hal wajar di masa depan. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat perubahan justru menjadi jalan menuju pragmatisme yang menyesatkan.
Jika mentalitas instan ini terus dibiarkan tanpa ada edukasi yang benar, maka korupsi akan semakin subur. Ketika seseorang terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah tanpa perlu berusaha, maka ia akan cenderung mencari cara untuk mempermudah segala urusan, termasuk dengan cara yang tidak etis.
Pada akhirnya, pendidikan harus kembali menjadi tameng integritas. Korupsi bukan sekadar perbuatan melanggar hukum, tetapi juga cerminan dari lemahnya sistem nilai dalam masyarakat. Jika pendidikan tidak segera berbenah, maka kita akan terus melahirkan generasi yang melihat korupsi sebagai hal yang lumrah. Pendidikan harus kembali ke akar tujuannya: membentuk karakter dan moral bangsa.
Menanamkan nilai-nilai kejujuran, memperkuat peran model panutan, serta memberi penghargaan atas proses adalah langkah utama dalam membentuk antibodi pendidikan yang kuat. Tanpa perbaikan ini, racun korupsi akan terus menyebar dan merusak masa depan negeri ini. Saatnya kita bertindak, sebelum integritas bangsa ini benar-benar runtuh.*
Penulis : Dr.A.A.Ngr. Eddy Supriyadinata Gorda (Akademisi Universitas Pendidikan Nasional)