“Kegalauan” Birokrasi Akibat Kebijakan Efisiensi Nasional

Raka Suardana - bali nusra
Prof. Dr. IB Raka Suardana - Foto : Dokumen

Kebijakan efisiensi nasional yang dicanangkan pemerintah sesuai Instruksi Presiden (Inpres) 1 Tahun 2025 pada dasarnya bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran dan meningkatkan efektivitas birokrasi. Dengan latar belakang kondisi fiskal yang semakin ketat, pemerintah melakukan berbagai langkah rasionalisasi, termasuk pemangkasan belanja operasional dan pengurangan program yang dianggap kurang prioritas. Langkah itu diambil untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memastikan bahwa alokasi anggaran lebih berorientasi pada kebutuhan strategis nasional.

Namun, implementasi kebijakan tersebut menimbulkan kegalauan di berbagai lapisan birokrasi, termasuk birokrasi di daerah. Program-program yang sebelumnya menjadi bagian dari pelayanan publik mengalami penyesuaian bahkan ada beberapa yang dihentikan sepenuhnya. Bantuan operasional untuk sektor pendidikan dan kesehatan dikurangi, proyek infrastruktur skala kecil di daerah ditunda, serta anggaran perjalanan dinas dan pelatihan aparatur dipangkas. Selain itu, beberapa instansi mengalami pengurangan tenaga kontrak yang berdampak pada berkurangnya kapasitas pelayanan.

Sehingga ditakutkan dampak dari kebijakan efisiensi itu cukup luas. Banyak daerah mengalami hambatan dalam menjalankan program prioritas lokal karena anggaran yang terbatas. Aparatur sipil negara yang sebelumnya terbiasa dengan mekanisme kerja yang lebih fleksibel kini harus beradaptasi dengan sumber daya yang semakin minim. Kemungkinan bisa saja pelayanan publik menjadi lebih lambat karena kekurangan tenaga atau keterbatasan operasional.

Dalam sektor pembangunan, pengurangan anggaran jelas akan berakibat pada stagnasi proyek-proyek yang telah direncanakan, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah.

Kesulitan terbesar akan dirasakan oleh aparatur daerah yang harus mencari cara untuk tetap menjalankan tugasnya dengan sumber daya yang terbatas. Mereka dituntut untuk lebih kreatif dalam mengelola anggaran, sering kali dengan melakukan efisiensi yang berujung pada beban kerja yang semakin tinggi. Selain itu, ketidakjelasan mengenai program yang diprioritaskan dan yang dipangkas tampaknya masih menyebabkan kebingungan dalam perencanaan. Koordinasi dengan pemerintah pusat juga menjadi lebih kompleks, terutama dalam hal pengajuan anggaran tambahan untuk program yang dianggap masih sangat diperlukan.

Dalam menghadapi situasi seperti saat ini, solusi terbaik adalah menyesuaikan kebijakan efisiensi dengan kondisi di lapangan. Pemerintah pusat perlu memberikan fleksibilitas lebih bagi daerah dalam menentukan program yang benar-benar berdampak bagi masyarakat. Pendekatan berbasis data dan evaluasi kinerja yang lebih transparan sekiranya dapat membantu menentukan sektor mana yang masih membutuhkan pendanaan. Selain itu, optimalisasi teknologi dalam birokrasi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi tanpa mengurangi kualitas pelayanan.

Dengan perencanaan yang lebih matang, kebijakan efisiensi nasional tetap bisa berjalan tanpa mengorbankan kinerja birokrasi. Adaptasi dan inovasi harus menjadi kunci bagi aparatur negara agar tetap bisa melaksanakan tugasnya secara optimal di tengah keterbatasan anggaran. Jika pemerintah dapat menemukan keseimbangan antara efisiensi dan efektivitas, maka kegalauan birokrasi dapat diminimalisir, dan reformasi struktural yang lebih sehat dapat terwujud demi tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Penulis :Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE.,MM.
Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar

TERP HP-01