DENPASAR – balinusra.com | Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tidak seharusnya berhenti pada seremoni atau seruan simbolik semata. Momen ini harus menjadi titik refleksi konkret dalam memperbaiki ketimpangan pendidikan yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Dr. A.A.N. Eddy Supriyadinata Gorda, dalam keterangan tertulis yang diterima di Denpasar, Sabtu (3/5/2025).
“Hardiknas harus menjadi momen untuk merefleksikan langkah-langkah konkret dalam memperbaiki ketimpangan pendidikan di Indonesia,” tegasnya.
Menurut pria yang akrab disapa Gung Eddy ini, pendidikan harus menjadi hak yang merata, dengan kualitas yang setara di seluruh wilayah Indonesia, baik di kota besar maupun daerah terpencil. Gung Eddy menyoroti bahwa tanpa kebijakan yang jelas dan implementasi yang konsisten, semangat tahunan Hardiknas hanya akan menjadi seruan kosong tanpa dampak nyata.
“Tanpa kebijakan yang jelas dan implementasi yang konsisten, pendidikan yang dijanjikan dalam seruan-seruan tahunan akan tetap menjadi simbol tanpa dampak nyata,” katanya.
Ia mendorong pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan bangsa, dengan menjamin keberlanjutan dan efektivitas berbagai kebijakan yang ada agar benar-benar mampu mengatasi ketimpangan yang masih terjadi.
Lebih lanjut, Gung Eddy menekankan bahwa pendidikan harus bisa beradaptasi dengan perubahan cepat di dunia kerja dan industri. Sistem pendidikan perlu dirancang secara fleksibel, agar siswa dapat belajar sesuai minat dan kemampuan mereka, tanpa mengabaikan standar akademik maupun penguasaan keterampilan.
“Kebijakan pendidikan yang sukses adalah yang dapat menciptakan sistem pendidikan yang fleksibel, yang memungkinkan siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, sambil tetap mempertahankan standar tinggi dalam pencapaian akademik dan penguasaan keterampilan,” jelasnya.
Gung Eddy juga menggarisbawahi pentingnya memahami konsep sejati dari pendidikan dan sekolah, yang tidak hanya soal pengetahuan atau keterampilan teknis, tetapi juga membentuk karakter dan kesadaran sosial peserta didik.
“Sekolah tidak hanya mengajarkan keterampilan atau pengetahuan semata, tetapi juga tentang membantu siswa mengenali siapa mereka, apa nilai-nilai yang mereka pegang, berkolaborasi dengan teman-teman mereka, dan bagaimana mereka dapat berkontribusi positif dalam masyarakat,” ujarnya.
Ia pun mengajak publik untuk berpikir lebih kritis terhadap arah pendidikan nasional saat ini.
“Sudah saatnya kita berpikir kritis, apakah arah kebijakan pendidikan kita semakin mendekatkan kita pada cita-cita besar untuk membangun bangsa yang maju dan berdaya saing, atau justru semakin menjauhkan kita dari visi tersebut?,” katanya.
Menutup pernyataannya, Gung Eddy menyayangkan kondisi sistem pendidikan yang kerap terjebak dalam kebijakan yang tidak konsisten atau bahkan gamang (‘mangu’). Setiap pergantian kepemimpinan membawa pendekatan yang berbeda, tanpa kesinambungan yang jelas.
“Meskipun tujuan akhirnya tetap sama, yaitu memajukan pendidikan, ketidakberlanjutan ini menghambat kemajuan sistem pendidikan yang berkelanjutan. Tanpa kebijakan yang konsisten dan terarah, kita sulit mencapai pendidikan yang berkualitas dan relevan dengan tantangan zaman,” pungkasnya. Baiq