BADUNG – balinusra.com | Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus memperkuat kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman gempa bumi dan tsunami. Salah satunya dengan menggelar sosialisasi di Tanjung Benoa, kawasan yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi percontohan program Tsunami Ready Community yang diakui UNESCO.
Acara ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari BPBD Bali, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Tanjung Benoa, hingga masyarakat setempat. Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Dr. Daryono, S.Si., M.Si., menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam membangun budaya siaga. “Kami bertekad untuk memastikan masyarakat lebih waspada dan siap menghadapi ancaman bencana,” ujarnya.
Menurut Daryono, Bali memiliki posisi geografis yang rawan karena berada di zona seismik aktif. Ancaman gempa megathrust dengan magnitudo 8,5 di selatan dan patahan aktif di utara yang bisa memicu gempa hingga 7,0 SR menuntut kewaspadaan tinggi. Sejarah mencatat, sejak tahun 1600-an, Bali telah mengalami 11 kali gempa besar, enam di antaranya disertai tsunami.
Sebagai bagian dari komitmen global, BMKG juga mendorong program Early Warning for All yang ditargetkan tercapai pada 2027. “Salah satu langkah konkretnya adalah membentuk Tsunami Ready Community atau Masyarakat Siaga Tsunami. BMKG tidak berhenti pada pembentukan, tapi juga memastikan keberlanjutan melalui pemantauan dan pembinaan di lokasi-lokasi baru,” jelas Daryono.
Selain sosialisasi, kegiatan ini juga dirangkaikan dengan penelitian lapangan. Septa Anggraini dari Direktorat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG membagikan kuesioner untuk disertasinya yang berjudul Model Keberlanjutan Masyarakat Siaga Tsunami Berbasis Komunitas: Studi Masyarakat Tanjung Benoa, Bali. Penelitian ini menyasar kelompok usia produktif 15–60 tahun dan diharapkan memperkuat model pengembangan kesiapsiagaan berbasis masyarakat. Baiq