Dalam dunia kerja, istilah absente biasanya merujuk pada seseorang yang diharapkan hadir di tempat kerja tetapi tidak hadir secara fisik. Namun, dalam konteks organisasi modern, absente juga dapat berarti ketidakhadiran secara intelektual atau emosional. Fenomena ini menciptakan apa yang kemudian saya sebut dengan “absente organisasi,” yaitu kondisi di mana anggota organisasi hadir secara fisik tetapi absen dalam hal partisipasi aktif, ide-ide kreatif, dan keterlibatan emosional dalam proses pengambilan keputusan.
Fenomena ini semakin mengemuka dalam organisasi yang memiliki budaya “yes bos,” di mana karyawan cenderung hanya menyetujui pendapat atasan tanpa berani mengutarakan pandangan yang berbeda. Ketakutan akan perbedaan pendapat ini sering kali didorong oleh struktur hierarki yang kaku dan budaya kerja yang menilai loyalitas lebih tinggi daripada inovasi. Akibatnya, diskusi dalam organisasi menjadi mandul, tidak menghasilkan solusi kreatif, dan berujung pada stagnasi.
Mengapa Absente Organisasi Terjadi?
Fenomena absente organisasi pada dasarnya dapat dijelaskan melalui Hierarki Kebutuhan Maslow. Dalam hierarki ini, aktualisasi diri menempati puncak piramida sebagai kebutuhan tertinggi manusia. Aktualisasi diri mencakup kebutuhan untuk mengekspresikan ide, mengambil inisiatif, dan merasa dihargai atas kontribusinya. Sayangnya, banyak organisasi gagal menyediakan ruang yang memadai bagi karyawan untuk memenuhi kebutuhan ini.
Dalam organisasi dengan budaya “yes bos,” kebutuhan akan rasa aman (safety needs) sering kali menjadi prioritas utama bagi karyawan. Mereka lebih memilih untuk mengamankan posisi mereka dengan mengikuti instruksi tanpa mempertanyakan atau menawarkan ide-ide baru. Ketakutan akan sanksi, pengucilan, atau bahkan pemutusan hubungan kerja membuat karyawan memilih diam, meskipun mereka memiliki pandangan atau solusi yang lebih baik.
Fenomena absente organisasi juga dapat terjadi karena berbagai faktor yang saling berkaitan, baik dari sisi individu maupun sistem organisasi. Beberapa alasan utama yang menyebabkan kondisi ini adalah sebagai berikut:
1)Budaya Takut Berpendapat
Dalam banyak organisasi, terdapat budaya kerja yang tidak memberikan ruang aman bagi karyawan untuk menyuarakan pendapat mereka. Ketakutan akan mendapat sanksi, pengucilan, atau dianggap tidak loyal membuat karyawan memilih untuk diam. Hal ini diperparah oleh pemimpin yang cenderung mendominasi diskusi dan tidak mendorong partisipasi aktif dari bawahan.
2)Struktur Hierarki yang Kaku
Struktur hierarki yang kaku membuat jalur komunikasi menjadi satu arah, dari atas ke bawah. Dalam struktur seperti ini, karyawan di tingkat bawah sering merasa bahwa pendapat mereka tidak akan didengar atau dihargai. Mereka lebih memilih untuk mengikuti instruksi atasan daripada mengambil risiko mengemukakan ide yang mungkin bertentangan dengan kebijakan yang ada.
3)Penilaian Kinerja yang Salah Fokus
Banyak organisasi masih mengukur kinerja karyawan berdasarkan kepatuhan dan loyalitas daripada kreativitas dan inovasi. Sistem penilaian seperti ini mendorong karyawan untuk menjadi pasif dan menghindari inisiatif yang dapat dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan. Mereka lebih memilih untuk menjadi “pengikut setia” yang tidak menimbulkan masalah.
4)Kurangnya Ruang untuk Aktualisasi Diri
Dalam hierarki kebutuhan Maslow, aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi yang hanya dapat dicapai jika individu merasa aman dan dihargai. Namun, dalam banyak organisasi, kebutuhan ini tidak terpenuhi karena karyawan tidak diberi ruang untuk berkreasi dan mengekspresikan ide-ide mereka. Akibatnya, mereka merasa tidak terlibat secara emosional dan intelektual dalam pekerjaan mereka.
5)Pengalaman Buruk di Masa Lalu
Banyak karyawan yang pernah mengalami pengalaman negatif saat mengemukakan pendapat mereka, seperti diabaikan, dikritik secara berlebihan, atau bahkan dihukum. Pengalaman ini meninggalkan trauma yang membuat mereka enggan untuk kembali berpartisipasi secara aktif dalam diskusi organisasi.
6)Ketergantungan pada Pemimpin
Dalam beberapa organisasi, terdapat ketergantungan yang berlebihan pada pemimpin untuk mengambil semua keputusan. Karyawan merasa bahwa mereka tidak memiliki otoritas atau tanggung jawab untuk memberikan masukan. Kondisi ini menciptakan lingkungan di mana ide-ide hanya datang dari satu arah, yaitu dari pemimpin, sehingga mematikan potensi inovasi dari anggota tim.
Dampak Absente Organisasi terhadap Kreativitas
Absente organisasi memiliki dampak yang signifikan terhadap kreativitas dan inovasi. Dalam lingkungan kerja yang sehat, perbedaan pendapat dan diskusi yang konstruktif sangat penting untuk menghasilkan solusi yang kreatif dan efektif. Namun, dalam organisasi dengan budaya “yes bos,” ide-ide segar sering kali terhalang oleh ketakutan dan kepatuhan yang berlebihan.
Ketika karyawan tidak merasa aman untuk mengemukakan pendapat mereka, organisasi kehilangan potensi besar untuk inovasi. Ide-ide brilian yang seharusnya muncul dari diskusi yang terbuka dan jujur akhirnya terpendam. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengurangi daya saing organisasi dan memperburuk retensi karyawan yang memiliki kapasitas berpikir kritis dan kreatif.
Mengatasi Absente Organisasi: Menciptakan Budaya Inklusif
Untuk mengatasi absente organisasi, pemimpin harus menciptakan budaya kerja yang inklusif dan terbuka terhadap perbedaan pendapat. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
Mendorong Diskusi Terbuka
Pemimpin harus menciptakan lingkungan di mana setiap karyawan merasa aman untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa takut akan sanksi. Diskusi yang sehat dan konstruktif harus menjadi bagian dari budaya kerja sehari-hari.
Menghargai Perbedaan Pendapat
Pemimpin harus menunjukkan bahwa perbedaan pendapat bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkaya perspektif organisasi. Menghargai ide-ide yang berbeda dapat memicu inovasi dan meningkatkan kualitas keputusan.
Memberikan Ruang untuk Aktualisasi Diri
Organisasi harus memberikan ruang bagi karyawan untuk mengekspresikan diri, baik melalui proyek-proyek kreatif maupun diskusi strategis. Dengan demikian, karyawan dapat merasa bahwa kontribusi mereka dihargai dan diakui.
Melatih Pemimpin yang Inklusif
Pemimpin yang inklusif mampu mengenali potensi setiap anggota tim dan mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan. Pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada komunikasi dan empati sangat penting untuk mencapai hal ini.
Menutup Celah Absente dalam Organisasi
Absente organisasi bukan sekadar masalah individu, tetapi masalah sistemik yang memerlukan perubahan budaya kerja. Organisasi yang ingin tetap relevan dan kompetitif harus mampu menciptakan lingkungan di mana setiap suara dihargai dan setiap ide dipertimbangkan. Tanpa perubahan ini, organisasi berisiko terjebak dalam budaya stagnasi yang membunuh kreativitas dan menghambat pertumbuhan.
Dalam era yang menuntut inovasi dan adaptasi yang cepat, budaya “yes bos” bukan lagi sebuah keunggulan, melainkan ancaman. Organisasi yang berhasil mengatasi absente organisasi adalah mereka yang mampu menumbuhkan budaya keterbukaan, penghargaan terhadap perbedaan, dan komitmen untuk menciptakan ruang aktualisasi diri bagi setiap karyawan.