Loyalitas Semu

Eddy Supriyadinata Gorda
Dr. A.A.Ngr Eddy Supriyadinata Gorda. Foto : Dokumen

Suara dering telepon dari perekrut kini tak lagi semenyenangkan dulu. Di ujung sana, tawaran gaji yang lebih tinggi dan jabatan yang menggiurkan. Namun, di sini, di balik meja kerja yang sama, kegamangan merayap lebih kuat dari godaan. Sebuah pertanyaan mendesak mengunci ambisi: “Apakah ini sepadan dengan risikonya?”

Bertahun-tahun lalu, kegelisahan semacam ini hampir tidak ada. Generasi muda di Indonesia, dari milenial hingga Gen Z, melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dengan gesit, menjadikannya sebuah norma baru yang dikenal sebagai job hopping. Pindah kerja bukan lagi tabu, melainkan strategi jitu untuk mengakselerasi karier dan memperkaya pengalaman. Setiap lompatan adalah deklarasi ambisi, sebuah janji untuk tidak pernah puas di zona nyaman.

Namun, angin kini berbalik arah. Di bawah bayang-bayang ketidakpastian global dan ketatnya persaingan, semangat melompat itu perlahan memudar. Sebuah tren baru yang lebih senyap dan pragmatis kini mendominasi: job hugging. Fenomena ini, secara harfiah berarti “memeluk pekerjaan,” menggambarkan sikap pekerja yang memilih untuk bertahan di posisinya. Bukan karena cinta buta pada perusahaan, melainkan loyalitas semu karena keengganan untuk mengambil risiko di tengah lautan yang bergejolak. Mereka memeluk pekerjaan mereka seolah itu adalah satu-satunya pelampung di tengah badai.

Fenomena ini bukanlah sekadar pilihan personal, melainkan manifestasi dari tekanan makroekonomi, struktural, dan bahkan teknologi. Data dari lembaga-lembaga riset global menunjukkan bahwa job hugging adalah respons yang sangat rasional dari pekerja yang cerdas.

Pertama, badai ekonomi. Laporan “Inside Employees’ Minds 2024-2025” dari Mercer menyoroti bahwa tekanan finansial dan inflasi kini menjadi kekhawatiran utama para pekerja. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan isu PHK yang terus bergulir, stabilitas gaji bulanan menjadi prioritas di atas segalanya. Janji kenaikan gaji dari perusahaan baru terasa hampa jika ada risiko kehilangan pekerjaan dalam hitungan bulan. Pindah kerja yang dulu dianggap sebagai investasi karier, kini terasa seperti perjudian yang berisiko tinggi.

Kedua, tangga karier yang menghilang. Survei “Workforce 2025: Power Shifts” dari Korn Ferry mengungkap bahwa 41 persen karyawan mengalami pemangkasan lapisan manajemen, membuat struktur organisasi menjadi lebih datar. Konsekuensinya sangat nyata: jalur promosi menjadi kabur dan kesempatan untuk mendapatkan mentor berkurang drastis. Sebanyak 37 persen karyawan merasa kehilangan arah. Di lingkungan di mana visi pengembangan karier tidak jelas, bertahan di posisi saat ini, betapapun stagnannya, terasa lebih aman daripada mencoba mencari kejelasan di tempat yang tidak dikenal.

Ketiga, bayangan AI. Kecemasan terhadap adopsi kecerdasan buatan (AI) menambah ketakutan. Dengan tekanan organisasi untuk tetap kompetitif dan memangkas biaya, AI dianggap bisa menciptakan iklim yang tidak nyaman bagi para pencari kerja. Ketakutan akan otomatisasi atau kehilangan relevansi membuat para pekerja cenderung memilih bertahan di posisi yang mereka kuasai, ketimbang menghadapi ketidakpastian pasar kerja yang bisa diubah oleh teknologi dalam sekejap mata.

Loyalitas Semu: Jebakan di Balik Tingginya Retensi

Bagi para pemimpin dan praktisi HR, tingginya tingkat retensi karyawan mungkin terlihat sebagai indikator keberhasilan. Namun, ini bisa menjadi jebakan mematikan yang mencerminkan sebuah fenomena baru: loyalitas semu. Karyawan yang bertahan bukan karena komitmen yang tulus, melainkan karena mereka merasa tidak memiliki pilihan lain. Mereka hadir secara fisik, tetapi jiwa dan motivasinya telah absen.

Sebuah organisasi yang dipenuhi oleh para job hugger yang bertahan karena rasa takut, berpotensi mengalami stagnasi masif. Ketika karyawan hanya bekerja untuk mendapatkan gaji, bukan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, semangat inovasi dan kreativitas akan menguap. Tingkat motivasi akan menurun, digantikan oleh rutinitas dan pasivitas. Fenomena “quiet quitting”, bekerja seadanya tanpa antusiasme, akan menjadi hal yang lumrah. Organisasi akan kehilangan daya saingnya, tanpa menyadari bahwa aset terbesarnya, yaitu sumber daya manusia, sebenarnya telah terjebak dalam jebakan “aman” yang mematikan.

Membangun Komitmen di Era Baru: Sebuah Strategi Kepemimpinan Baru

Lalu, bagaimana organisasi bisa merespons tren ini secara proaktif? Pemimpin harus menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya mempertahankan karyawan, tetapi juga memastikan mereka tetap termotivasi dan berkembang. Penciptaan jalur pertumbuhan dari dalam menjadi fondasi utama. Daripada menunggu karyawan pergi untuk mencari tantangan baru, organisasi harus menciptakan jalur karier internal yang jelas dan menarik. Dalam hal ini pendekatan STT (Sederhana, Terukur, Terasa) dalam menerapkan strategi kepemimpinan sangat relevan untuk digunakan.

Daripada menunggu karyawan pergi untuk mencari tantangan baru, organisasi harus menciptakan jalur karier internal yang jelas dan menarik. Pendekatan ini harus sederhana, dengan menghilangkan birokrasi rumit dan menyediakan peta karier yang mudah dipahami. Efektivitasnya harus terukur melalui metrik seperti tingkat promosi internal dan persentase partisipasi dalam program pengembangan. Paling penting, strategi ini harus terasa langsung oleh karyawan, di mana mereka merasakan ada masa depan yang jelas di perusahaan dan merasa bahwa investasi pada keterampilan mereka adalah prioritas.

Karyawan yang merasa terjebak sering kali juga merasa tidak dihargai. Pemimpin harus membangun budaya di mana kontribusi dihargai dan umpan balik diberikan secara rutin. Hal ini dapat diwujudkan melalui cara yang sederhana, seperti pertemuan mingguan singkat. Dampak strategi ini dapat terukur dari frekuensi interaksi positif dan skor keterlibatan karyawan. Pada akhirnya, koneksi harus terasa secara personal; karyawan harus merasa didengar, dihargai, dan menjadi bagian dari tim, bukan hanya sekadar pekerja.

Pada akhirnya, job hugging adalah cerminan dari kecemasan sosial dan ekonomi yang lebih luas.Tren ini bukan lagi tentang kurangnya ambisi, tetapi tentang kalkulasi yang hati-hati di tengah ketidakpastian. Tantangan bagi para pemimpin adalah mengubah rasa takut menjadi komitmen, dan mengubah loyalitas semu menjadi loyalitas sejati, sebuah loyalitas yang lahir dari rasa dihargai, bukan dari rasa tidak berdaya.

Organisasi yang akan memimpin masa depan adalah mereka yang berani melampaui angka retensi. Mereka tidak lagi hanya mengelola posisi, melainkan membebaskan potensi. Karena pada akhirnya, kepemimpinan sejati bukanlah tentang mempertahankan karyawan, melainkan tentang membuka kunci ambisi mereka.

TERP HP-01