DENPASAR – balinusra.com | Akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Dr. AAN Eddy Supriyadinata Gorda menyoroti pentingnya pendidikan tinggi untuk tidak hanya fokus pada pengajaran teori (educare), tetapi juga pengembangan keterampilan praktis (educere). Menurutnya, keduanya harus berjalan paralel agar lulusan benar-benar siap menghadapi dunia nyata.
“Pendidikan tinggi idealnya menggabungkan educare (pengajaran ilmu) dan educere (pengembangan keterampilan). Keduanya harus berjalan paralel agar mahasiswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan tetapi juga keterampilan dan nilai-nilai praktis. Tanpa keseimbangan keduanya, pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan yang cerdas teori tanpa kemampuan aplikatif di dunia nyata,” kata Gung Eddy, sapaannya, Kamis (24/7/2025) di Denpasar.
Dalam konteks pendidikan bisnis, misalnya, mahasiswa kerap dibekali teori ekonomi dan manajemen, namun minim pengalaman praktik. Tanpa educere, lulusan hanya menguasai konsep, tetapi kesulitan menerapkannya sebagai wirausaha atau profesional.
Gung Eddy mengungkapkan, fakta di lapangan menunjukkan banyak lulusan yang lebih mengejar nilai tinggi dan gelar akademik, namun belum memiliki bekal keterampilan nyata. Akibatnya, ketika masuk dunia kerja, mereka kesulitan bertransformasi menjadi tenaga kerja kompeten atau pelaku usaha mandiri.
“Kecenderungan ini diperparah dengan pandangan sebagian mahasiswa dan orang tua yang menganggap nilai dan ijazah sebagai ukuran utama keberhasilan pendidikan. Padahal, tanpa educere, gelar tersebut bisa kehilangan makna karena tidak dibarengi kemampuan menghadapi tantangan profesional yang kompleks,” jelasnya.
Gung Eddy juga menyoroti dominasi educare dalam sistem pendidikan nasional saat ini. Kurikulum lebih berfokus pada teori di ruang kelas, sementara perkembangan dunia kerja menuntut lulusan dengan keterampilan praktis yang tinggi. Oleh karena itu, ia menilai educere kini menjadi semakin relevan untuk menjawab kebutuhan zaman.
Dosen pun dinilai memiliki peran penting. Jika hanya mengajarkan teori tanpa memberi ruang eksplorasi dan pengembangan keterampilan, maka mahasiswa hanya akan lulus dengan ijazah tanpa kompetensi yang sesuai kebutuhan industri.
Meski demikian, ia percaya sistem pendidikan Indonesia bisa menggabungkan kedua pendekatan tersebut. Salah satunya dengan memperbanyak praktik lapangan, magang, proyek riil, dan kolaborasi dengan dunia usaha maupun lembaga pelatihan. Langkah ini akan memperkaya pengalaman belajar mahasiswa, sekaligus memperkuat kesiapan mereka di dunia profesional.
Gung Eddy mengingatkan pentingnya nilai-nilai spiritual dan keseimbangan hidup dalam pendidikan tinggi. “Lulusan ideal tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga memiliki etika, karakter, dan daya tahan menghadapi dinamika dunia kerja.
Baginya, educare dan educere adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan tinggi harus menjadi tempat pembentukan intelektual, karakter, serta keterampilan praktis yang seimbang, agar tidak hanya mencetak sarjana dengan gelar, tetapi juga manusia yang siap berkarya dan memberi kontribusi nyata bagi masyarakat. Baiq