Jalan Pulang Menuju Eudaimonia

Eddy Gorda - Bali Nusra
AAN. Eddy Supriyadinata Gorda - Foto : Dokumen

Hari-hari menjelang Galungan dan Kuningan, jalan-jalan di Bali mulai berubah wajah. Penjor menjulanganggun di pinggir-pinggir jalan, pertanda semesta bersiap menyambut kemenangan Dharma. Pasar-pasartradisional mendadak riuh; bukan hanya oleh suara tawar-menawar, tetapi juga oleh denyut konsumsi yangmeningkat tajam. Kredit mengalir, pakaian baru dibeli, dan meja persembahan tak luput dari susunan sajianyang kian mewah.

Namun, di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan yang mengendap pelan namun nyaring dalam batin:apakah semua ini benar-benar membawa kebahagiaan, atau hanya sekadar ilusi yang terus diputar ulangsetiap enam bulan sekali?

Siklus yang Tak Pernah Usai
Dalam psikologi modern, ada sebuah konsep yang menjelaskan fenomena ini: hedonic treadmill. Manusia,kata teori ini, cenderung mengejar kebahagiaan dari hal-hal eksternal – harta, status, pujian – namunkebahagiaan itu bersifat sementara. Seperti berjalan di atas treadmill, kita merasa bergerak, padahalsejatinya kita hanya kembali ke titik awal: rasa tidak puas. Kita terus membeli, terus berusaha “tampil cukup”,hanya untuk merasakan kekosongan yang sama setelah semua selesai.

Galungan, dengan segala sakralitasnya, perlahan ditarik ke dalam orbit treadmill ini. Perayaan spiritualbergeser menjadi ajang eksistensi sosial. Upacara menjadi beban. Dan dalam diam, banyak orang mulailelah: secara finansial, emosional, bahkan spiritual.

Panggung dan Tekanan Sosial
Di lingkungan kerja, tekanan itu makin kentara. Di banyak tempat, hari raya bukan hanya soal sembahyang,tapi juga tentang “gengsi THR”. Ada ekspektasi tak tertulis bahwa karyawan akan membawa pulang sesuatu– entah itu baju baru, makanan istimewa, atau oleh-oleh untuk keluarga di kampung. Tidak sedikit yang relaberutang, menggadaikan aset, bahkan mengambil pinjaman harian, hanya untuk memenuhi standarkebahagiaan yang ditentukan oleh mata orang lain.
Begitu hari raya usai, yang tertinggal bukan kedamaian, melainkan kecemasan baru: tagihan yangmenumpuk, energi yang terkuras, dan rasa hampa yang kembali hadir.

Galungan: Cermin dari Kehidupan Kita
Namun, Galungan sejatinya bukan tentang kemegahan ritual. Ia bukan tentang seberapa indah penjor yangkita pasang, seberapa mewah busana yang kita kenakan, atau seberapa lengkap sajian yang kita susun.Galungan adalah panggilan sunyi—panggilan untuk mengingat kembali esensi keberadaan kita sebagaimanusia: bahwa hidup adalah medan tempur antara Dharma dan Adharma, antara kesadaran dan kealpaan,antara kedamaian batin dan hasrat yang tak pernah usai.
Dalam ajaran Hindu, Dharma bukan sekadar hukum ilahi atau norma sosial. Dharma adalah harmoni,keseimbangan, kejujuran terhadap diri sendiri, dan penghormatan terhadap kehidupan dalam segala bentuknya. Maka, kemenangan Dharma bukan hanya dirayakan di pura atau di meja upacara. Ia harus tercermin dalam cara kita berpikir, bekerja, berkeluarga, dan menghadapi dunia sehari-hari.

Ironisnya, di tengah perayaan yang semestinya sakral, justru banyak orang terjebak dalam tekanan dan ekspektasi sosial yang memeras batin. Galungan berubah menjadi beban. Menjadi perlombaan tanpa garis akhir untuk “terlihat pantas”. Rumah harus bersih. Makanan harus banyak. Anak-anak harus berpakaian baru. Semua harus sempurna, meski sering kali dilakukan dengan keterpaksaan. Dalam keheningan malam Galungan, tak sedikit orang yang lebih banyak menghitung utang daripada merenungi makna.

Apakah ini yang dimaksud kemenangan Dharma? Ataukah kita justru tengah merayakan kemenangan Adharma—dalam bentuk keserakahan, gengsi, dan pelarian spiritual yang dikemas rapi?

Barangkali inilah saat yang paling jujur untuk bercermin. Galungan bisa menjadi momentum untuk berhenti sejenak dari putaran cepat kehidupan—dari ambisi, dari kebisingan sosial, dari kebahagiaan palsu yang terus kita kejar tanpa henti. Kita perlu berani bertanya dengan hati terbuka: Apakah hidup yang saya jalani ini benar-benar selaras dengan Dharma? Apakah kebahagiaan yang saya cari selama ini bersumber dari kedalaman makna, atau hanya dari permukaan pujian?
Berhenti sejenak dari treadmill itu bukan berarti menyerah. Justru itulah bentuk keberanian sejati. Keberanian untuk melihat ke dalam, meninjau ulang nilai-nilai yang kita hidupi, dan memilih untuk berjalan dengan sadar, bukan berlari tanpa arah.

Dalam konteks inilah, Galungan menjadi lebih dari sekadar tradisi. Ia menjadi cermin – untuk melihat tidak hanya apa yang kita rayakan, tapi juga bagaimana dan mengapa kita merayakannya. Karena hanya dengan kesadaran semacam itulah, kemenangan Dharma tak lagi menjadi simbol kosong, tapi hadir sebagai pengalaman hidup yang nyata dan membebaskan.

Eudaimonia: Kebahagiaan yang Bernapas Panjang
Di tengah dunia yang terus mendorong kita untuk memiliki lebih, ada satu gagasan kuno yang justru mengajak kita untuk menjadi lebih. Konsep itu bernama eudaimonia—sebuah bentuk kebahagiaan yang tak bergantung pada kejutan-kejutan eksternal, melainkan tumbuh perlahan dari kehidupan yang dijalani dengan keutamaan, integritas, dan kedalaman makna.

Berbeda dengan kebahagiaan hedonistik yang datang cepat lalu pergi begitu saja—layaknya kembang api yang indah namun singkat—eudaimonia adalah kebahagiaan yang bernapas panjang. Ia tidak mencandu. Ia tidak menjanjikan euforia, tetapi menawarkan kedamaian. Ia tidak hadir sebagai hadiah dari dunia luar, melainkan sebagai buah dari kehidupan batin yang selaras: antara pikiran, tindakan, dan nilai-nilai terdalam kita.

Eudaimonia tidak menuntut kita untuk sempurna, melainkan untuk jujur. Jujur pada diri sendiri. Bahwa kadang hidup tidak mudah. Bahwa tidak semua impian tercapai. Bahwa kesedihan, keraguan, dan kegagalan adalah bagian sah dari perjalanan. Tapi justru dalam kejujuran itulah, eudaimonia tumbuh—dari keberanian kita untuk hidup apa adanya, bukan ada apanya.

Kebahagiaan semacam ini tak bisa diukur dengan barang atau prestasi. Ia mengalir dari hal-hal yang sederhana: rasa cukup ketika makan bersama keluarga, rasa tenang saat bekerja dengan sepenuh hati, rasa bangga ketika memilih yang benar meski sulit. Ia hadir ketika kita berhenti mengejar validasi dari luar, dan mulai membangun koneksi dengan yang ada di dalam—diri kita sendiri, sesama, dan semesta.

Dalam konteks kehidupan modern, termasuk di dunia kerja, eudaimonia menantang paradigma lama yang menilai kebahagiaan lewat pencapaian eksternal semata. Ia mengajukan pertanyaan baru: Apakah pekerjaan ini memberi saya makna? Apakah relasi di kantor dibangun atas rasa hormat atau hanya target? Apakah saya bisa tumbuh sebagai manusia di sini?

Membudayakan eudaimonia, baik dalam ranah personal maupun profesional, berarti menciptakan ekosistem yang tidak hanya produktif, tetapi juga manusiawi. Artinya memberi ruang untuk refleksi, menghargai proses, dan memaknai keberhasilan bukan hanya dari hasil, tetapi dari cara kita mencapainya.

Di tengah gempuran dunia yang memaksa kita untuk selalu lebih cepat, lebih kaya, lebih hebat, eudaimonia datang seperti jeda. Seperti napas panjang yang mengajak kita untuk kembali—bukan ke belakang, tapi ke dalam. Ia adalah ajakan untuk menyadari, bukan sekadar memiliki. Dari situlah, barangkali, kita akan menemukan kebahagiaan yang tak lagi harus dikejar, karena ia telah diam di dalam kita sejak awal.

Jalan Pulang
Galungan bisa menjadi momen untuk kembali ke dalam. Untuk menjadikan perayaan bukan panggung sosial, melainkan ruang refleksi. Untuk menyadari bahwa kemenangan Dharma juga berarti keberanian melawan ego, nafsu konsumsi, dan rasa “tidak pernah cukup” yang terus-menerus menjerat.

Dalam dunia kerja, dalam keluarga, dalam masyarakat – kita bisa mulai membangun budaya eudaimonia. Mendorong ruang kerja yang manusiawi, menanamkan nilai yang tak semata target angka, dan menghidupkan kembali spiritualitas sebagai sumber daya batin, bukan beban gaya hidup.
Sebab pada akhirnya, bukan tentang apa yang kita miliki di hari raya, tapi siapa kita setelah semua kembali hening.

Penulis. Dr.AAN Eddy Supriyadinata Gorda (Akademisi Undiknas)

TERP HP-01