DENPASAR – balinusra.com | Program Studi Magister Hukum, Program Pascasarjana Universitas Ngurah Rai (UNR) menggelar Seminar Nasional “RKUHAP: Reformasi Hukum Acara Pidana Menuju Keadilan yang Berkeadilan”, bertempat di Auditorium Universitas Ngurah Rai Jumat (28/2/2025).
Seminar nasioal ini menghadirkan nara sumber; Prof. Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H. (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana), Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, S.E (M.Tru), M.Si. (Anggota Komite I DPD-RI), Gede Pasek Suardika, S.H., M.H. (Advokat) dan
Dr. I Wayan Putu Sucana Aryana, S.E., S.H., M.H., CMC. (Dekan sekaligus dosen di Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Ngurah Rai).
Rektor UNR Prof. Dr. Ni Putu Tirka Widanti, MM., M.Hum., berharap seminar nasional ini menjadi ajang diskusi yang produktif dan memberikan wawasan yang mendalam bagi semua peserta dan berimbas ke masyarakat luas.
Prof. Tirka melanjutkan, reformasi hukum acara pidana di Indonesia merupakan topik yang sangat penting dan mendesak. Sejak disahkannya KUHAP pada tahun 1981, perubahan dalam sistem peradilan pidana menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari, terutama dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
“Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut, dengan mengedepankan aspek transparansi, akuntabilitas, serta keadilan yang lebih berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses hukum,” jelasnya.
“Melalui seminar nasional ini, saya berharap kita semua dapat memperkaya perspektif dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terkait dampak serta implikasi dari RKUHAP dalam sistem hukum nasional kita. Semoga dari seminar ini, kita dapat merumuskan rekomendasi akademik yang konstruktif bagi pembuat kebijakan, serta mendorong implementasi sistem hukum menjadi lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan yang sesungguhnya,” ujar Prof. Tirka.
Narasumber Gede Pasek Suardika, memaparkan materi tentang “KUHAP Baru, Memperkokoh Integrated Criminal Justice System”. Pasek Suardika sangat mengapresiasi inisiatif UNR menggelar seminar nasional ini karena setelah menjadi produk undang-undang, isinya mengikat semua warga negara.
“Kita kan tidak pernah tahu kapan berurusan dengan hukum, entah dalam posisi tersangka, korban, saksi dan sebagainya. Jadi sebelum disahkan kita diskusi dulu sebagai bahan masukan untuk DPR dan pemerintah,” jelasnya.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI menegaskan, seminar tersebut sangat penting didalami oleh aparat penegak hukum dan juga masyarakat luas agar mengetahui bagaimana warga negara diperlakukan dalam proses hukum.
“Semoga kampus-kampus lain menggelar kegiatan serupa karena hal ini sangat penting bagi seluruh rakyat, terutama saat terjadi masalah hukum meskipun kita semua menghindari hal itu terjadi,” jelasnya.
Narasumber Dr. Sucana Aryana, menyajikan materi bertema, menyakikan materi “Sistem Peradilan Pidana”. Secara khusus, Sucana memberikan kritik Rancangan KUHAP dalam pasal 111 ayat (2) RUU KUHAP yang mana saat ini, Jaksa diberi kewenangan untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian.
“Padahal seharusnya pasal tersebut mutlak kewenangan kepolisian. Apabila hal ini tetap diterapkan dikhawatirkan akan menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu,” ungkap Sucana.
Sementara itu pasal 12 ayat 11 RUU KUHAP menjelaskan bahwa apabila masyarakat melapor polisi tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi, bisa menindaklanjuti ke kejaksaan.
Menurutnya hal ini merupakan kemunduran yang pernah diterapkan saat era Hindia Belanda hingga Orde baru.
Sedangkan Arya Wedakarna (AWK), menjelaskan, setidaknya ada enam sasaran penting dalam revisi KUHAP, meliputi: Pertama, pemulihan korban tindak pidana belum menjadi prioritas dalam sistem peradilan pidana. Hukum
acara pidana masih berorientasi terhadap pelaku tindak pidana.
Kedua, differensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana menimbulkan persoalan. Ketiga, prapenuntutan tidak berjalan efektif dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Keempat, pemenuhan hak tersangka/terdakwa belum optimal.
Kelima lemahnya mekanisme akuntabilitas dalam penegakan hukum. Keenam, pengaturan sistem pembuktian masih lemah. KUHAP memberikan kepercayaan lebih kepada
penegak hukum untuk memperoleh bukti, tapi standar dan mekanisme kontrol pengumpulan dan pengujian
bukti tidak diatur secara lengkap.
Sementara itu, Prof. Swardhana, mengingatkan bahwa masih ada pro dan kontra terkait pembaruan KUHAP. Pihak yang setuju, salah satunya Komisi III DPR RI yang menganggap revisi KUHAP dianggap kebutuhan mendesak agar sistem peradilan pidana lebih modern dan berorientasi pada keadilan. KUHAP yang berlaku sejak 1981 dirasa perlu pembaharuan.
Kemudian Mahkamah Agung juga berkepentingan untuk memperjelas aturan mengenai penyitaan dan perampasan barang bukti yang bukan milik tersangka atau terdakwa.
Pun demikian sebagian akademisi dan pakar hukum berpendapat revisi KUHAP dinilai bisa memperkuat prinsip due process of law, dapat meningkatkan transparansi dalam proses hukum, salah satunya melalui peran Hakim Komisaris yang dapat mengawasi proses penyidikan dan penahanan.
Sedangkan kelompok yang kontra, misalnya organisasi masyarakat sipil dan aktivis HAM. “Mereka khawatir revisi ini dapat memberikan ruang bagi kriminalisasi yang lebih luas terutama terhadap kelompok rentan,” ujar Prof. Swardhana.
“Pembaruan KUHAP harus menjamin bahwa hukum tidak hanya ditegakkan secara ketat tapi harus dijalankan secara adil dan manusiawi, oleh karena itu pembahasan revisi ini harus dilakukan secara cermat, mendengarkan berbagai aspirasi serta berbasis pada kajian ilmiah yang mendalam agar hasilnya dapat memberi manfaat bagi seluruh elemen masyarakat,” pungkasnya. rl