DENPASAR – balinusra.com | Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar kembali menambah pundi-pundi dosen berkualifikasi doktor setelah Ni Putu Yunita Anggreswari S.I.Kom., M. Med.Kom., berhasil menuntaskan studi pada Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Tata, sapaan karib Yunita Anggreswari, mengangkat disertasi berjudul “Praktik Sosial, Personal Branding dan Komunikasi Politik Politisi Perempuan Bali pada Pemilihan Legislatif 2024”. Tata menjalani ujian terbuka dan promosi doktor, Rabu (8/1/2025) di Unair.
Tata mengungkapkan, penelitian disertasinya berawal dari “kegalauan” belum maksimalnya peran perempuan di parlemen/jabatan politik lain. Padahal di Indonesia, kuota gender sudah lama diberlakukan sebagai upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik.
Sebagaimana yang tertuang pada UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 173 ayat (2) huruf e menjelaskan bahwa “menyertakan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen perempuan pada kepengurusan partai politik itngkat pusat untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota”.
Selain itu, menurut perempuan kelahiran 6 Januari 1993 ini, terdapat pula Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Pasal 6 ayat (1) poin c yang berbicara mengenai kuota gender yang mana kuota minimal yang harus diisi oleh perempuan adalah sebanyak 30 persen.
“Kuota untuk kandidat perempuan, nampaknya tidak menyelesaikan masalah karena partai politik kerap kali tidak mempertimbangkan kualitas dan potensi dari kader perempuan,” jelas Tata.
Kuota gender menjadi sebuah keharusan bagi partai politik untuk melibatkan perempuan dalam jumlah kuantitas, namun kerap kali isu-isu serius mengenai perempuan berlum tersentuh.
Isu-isu perempuan seperti kesejahteraan perempuan, jaminan Kesehatan, kehidupan perempuan, pekerja perempuan, dan berbagai isu lainnya belum digunakan sebagai sebuah amunisi untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.
Dalam pemilihan kader perempuan, lanjut Tata, yang menjadi pertimbangannya adalah kedekatannya dengan dinasti politik di daerah tersebut.
Para perempuan yang merupakan bagian dari dinasti politik di daerahnya seolah telah memasuki proses politik tanpa melalui tahapan norma rekruitmen dan pelatihan partai yang mengakibatkan putusnya karir kader-kader perempuan yang memang berkualitas dan menjanjikan.
Hal ini diakibatkan karena adanya kuota gender namun tidak didukung oleh sistem partai, dimana sistem partai seharusnya memberikan kesempatan kepada perempuan yang memang memiliki kualitas dan potensi yang benar-benar mewakili perempuan atau kelompok lain yang termarginalkan.
Permasalahan tersebut semakin membuktikan bahwa kuota perempuan sebanyak 30 persen tidak mampu menjadi solusi, karena tetap tidak adanya ruang bagi perempuan untuk menunjukkan potensi dirinya sebagai seorang perempuan.
Ketika terjun ke dalam politik, menurut Tata, perempuan tetap bergantung pada relasinya dengan kepala daerah, tokoh masyarakat, bupati, dan gubernur yang didominasi oleh laki-laki.
Sehingga kondisi tersebut membuktikan bahwa budaya patriarki yang menjadi hambatan bagi perempuan belum dapat terselesaikan.
Steoreotip mengenai politik adalah laki-laki seolah menjadi sebuah mitos yang berkembang di masyarakat, sehingga seolah menjadi aturan bahwa perempuan tidak boleh ikut berpolitik.
“Sedikitnya proporsi perempuan yang berkiprah di politik tentu mempersempit ruang gerak dan suara perempuan yang terwakili. Kondisi ini menjadi hal yang tidak menguntungkan bagi perempuan, tidak saja bagi eksistensi dan keterlibatan perempuan di arena politik, tetapi juga menyebabkan tidak optimalnya artikulasi politik dan kepentingan perempuan,” ujar alumni Sarjana Komunisi Undiknas ini.
Penelitiannya ini, menemukan bahwa politisi selaku aktor melakukan praktik sosial secara teratur untuk menciptakan kontrol terhadap sistem dan struktur yang ada di Bali. Politisi perempuan Bali juga melakukan praktek secara regursif dan disgursif untuk menciptakan strukturasi.
Dosen yang menamatkan Magister Ilmu Komunikasi di Unair ini, menambahkan, penelitiannya juga menemukan bahwa praktik-praktik sosial yang dilakukan politisi perempuan tidak selalu berfokus kepada isu perempuan sebagai strategi pemasaran politik, namun juga menyentuh isu sosial yaitu menghadirkan solusi dari berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
Politisi perempuan Bali selaku aktor politik secara sengaja menjalin hubungan timbal balik (dialectic of control) dengan sistem dan struktur masyarakat Bali sehingga melahirkan strukturasi.
Ia berharap hasil penelitiannya bermanfaat bagi masyarakat luas khususnya kaum perempuan sehingga lebih termotivasi terjun ke dunia politik praktis.
Ketua Perkumpulan Pendidikan Nasional (Perdiknas) Dr. AAN Eddy Supriadinata Gorda, mengatakan, hasil riset dosen FISHUM itu, membuka wawasan baru tentang dinamika perempuan dalam dunia politik.
“Ada beberapa novelty atau pengetahuan baru yang bisa dijadikan kajian oleh penyelenggara pemilu, pemerintah, tokoh masyarakat dan khususnya kaum perempuan itu sendiri,” jelas ESG, sapaannya.
Dengan demikian, lanjut ESG, Undiknas telah memiliki 53 dosen berkualifikasi doktor. 29 orang lagi sedang studi doktoral di berbagai universitas dalam dan luar negeri. Tata sendiri merupakan doktor ke 8 lulusan Unair yang ada di Undiknas.
Ketua Perdiknas memuji komitmen Tata sebagai akademisi. Dengan masa kerja 6 tahun, sudah berhasil menuntaskan S3 dengan jabatan fungsional Asisten Ahli. Saat ini, Undiknas memiliki 128 dosen ber-Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), serta 91 ber-Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK). Presentase dosen NIDN bergelar doktor sebesar 40 presen.Rilis